h1

Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama

19 December 2007

Oleh M. Dawam Rahardjo
18/07/2005

——
Sumber terorisme itu sebenarnya berasal dari Keputusan Munas MUI No.
05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah
sebagai “jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. SK MUI inilah
yang “menghalalkan darah” jama’ah Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah
menganut rukun iman dan rukun Islam sebagaimana umat Islam lain.
——

Indonesia selalu digambarkan sebagai negara dengan pemeluk agama
Islam yang toleran. Toleransi juga diperlihatkan agama-agama dominan
sebelum Islam, yakni Hindu dan Buddha, terhadap ajaran baru: Islam.
Para ulama penyebar Islam dulunya juga bersikap toleran terhadap
ajaran agama sebelumnya, bahkan menyerap beberapa unsur budayanya.
Karena itu, masuknya Islam di Indonesia selalu disebut “panetration
pacific”.

Toleransi itu pulalah yang tampak ketika Ahmadiyah yang lahir di
Pakistan pertama kali dan disebarkan di Indonesia oleh dua mubalig
Ahmadiyah aliran Lahore, Mirza Wali Ahmad Baiog dan Maulana Ahjmad,
lewat kunjungan mereka ke Yogyakarta, 1924. Sementara Ahmadiyah
aliran Qadian masuk ke Indonesia tahun 1925 atas undangan beberapa
orang Indonesia yang pernah belajar di perguruan Ahmadiyah di
Pakistan.

Masuknya Ahmadiyah di Indonesia ternyata juga disambut para pejuang
pergerakan nasional, khususnya Bung Karno, karena mereka mendukung
perjuangan Indonesia merdeka. Karena sambutan yang hangat itu, Bung
Karno pernah dituduh telah masuk Ahmadiyah, yang kemudian dibantahnya
melalui sebuah artikel. Namun ajaran-ajaran Ahmadiyah (khususnya
Ahmadiyah Lahore) telah ikut memengaruhi para pemimpin pergerakan
Indonesia seperti H.O.S Tjokroamninoto, Agus Salim, dan Bung Karno
sendiri, melalui tafsir The Holy Qur’an, buku the Religion of Islam,
dan Sejarah Nabi Muhammad Saw.

Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad (1835-
1908), dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolonialisme Inggris di
benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala
bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionaris. Dari
latar belakang sejarah, munculnya Ahmadiyah mirip kelahiran
Muhammadiyah.

Muhammadiyah lahir antara lain untuk pemurnian akidah dan praktik
ibadah Islam tradisional yang dianggap telah dirasuki “penyakit” TBC;
Tachayul, Bid’ah dan Churafat (ejaan lama). Dakwah Muhammadiyah yang
membawa faham Wahabisme ini lalu menimbulkan persinggungan dengan
kalangan Islam tradisional, sehingga menimbulkan reaksi balik dengan
berdirinya NU. Ahmadiyah tampil dengan penafsiran Alqur’an dan Sunnah
secara liberal, sekalipun tidak setuju dengan aliran modernis
pimpinan Ahmad Khan yang dianggap telah ditunggangi westernisasi.
Ahmadiyah yang menentang pendekatan rasional aliran Aligarh, justru
bercirikan rasional dan liberal dalam penafsirannya. Tapi yang
sebenarnya menjadi sasaran utama Ahmadiyah adalah kristenisasi dan
westernisasi yang melanda benua India saat itu.

Di Indonesia, ajaran Muhammadiyah diterima luas masyarakat yang
tertarik faham modernisasi Islam. Tapi penerimaan seperti itu tidak
terjadi pada Ahmadiyah di Pakistan. Ahmadiyah justru ditentang ulama
tradisional maupun modernis India. Salah satu faktor penentangannya
adalah klaim Ghulam Ahmad sebagai penerima wahyu dan sebagai nabi.
Islam tradisional dan modernis percaya bahwa Nabi Muhammad adalah
nabi dan rasul penutup. Karena “wahyu” yang diterima Ghulam Ahmad
sempat dibukukan, maka kaum Muslim umumnya menganggap Ahmadiyah
mempunyai kitab suci sendiri.

Padahal bagi Ahmadiyah, nabi pungkasan tetaplah Nabi Muhammad.
Status “nabi” dan “rasul” pada kasus Nabi Muhammad ditafsirkan
Ahmadiyah sebagai nabi dan rasul pembawa syari’at. Ghulam Ahmad tidak
pernah mengklaim diri sebagai pembawa syari’at, bahkan misi utamanya
adalah “menghidupkan kembali syari’at” yang telah ada, tapi dengan
penafsiran yang rasional, sehingga kemajuan Islam tidak memerlukan
modernisasi, apalagi kolonialisme, karena Islam sendiri mengandung
idea of progress.

Atas dasar kepercayaan bahwa Islam membawa rahmat bagi sekalian
bangsa, maka Islam bagi Ahmadiyah tidak perlu disebarkan lewat
perang. Karena itu, Ahmadiyah menurut Wilfred C. Smith menjelma
menjadi gerakan intelektual dan konsisten melakukan “dakwah
intelektual”. Inilah yang memesona Bung Karno, sekalipun ia menolak
percaya bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi. Bagi Ahmadiyah, perang
adalah “jihad kecil”, sedangkan “jihad akbar” adalah menaklukkan hawa
nafsu. Karena itu Ahmadiyah selalu tampil sebagai gerakan sipiritual,
tapi bukan dalam bentuk yang tradisional, melainkan “spiritual
modern”. Akhir-akhir ini Islam berkembang di Afrika Hitam melalui
Ahmadiyah.

Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami
banyak penganiayaan. Mereka dikucilkan, tidak boleh menjadi makmum
dalam salat ja’maah atau salat Jum’at, masjid-masjidnya dirusak dan
dibakar, bahkan mengalami pembunuhan sangat kejam dari umat Islam
fanatik di Pakistan. Karena itu, gerakan Ahmadiyah hijrah ke Inggris
dan menyebar ke negara-negara Eropa Barat. Orang-orang Inggris dan
Eropa tertarik pada Ahmadiyah karena ajaran spiritualnya memang
menyerupai Kristen, tetapi rasional.

Tak ayal lagi, berkembangnya Ahmadiyah di Inggris menimbulkan tuduhan
bahwa Ahmadiyah adalah “proyek kolonialisme Inggris” untuk
melanggengkan kekuasaannya di India. Ahmadiyah juga dituduh mendapat
dana dari Pemerintah Inggris, padahal mereka tidak pernah menerima
dana satu sen pun darinya. Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri
yang swadaya dan mendapat dana dari para anggotanya. Banyak sekali
jenis iuran yang berlaku di lingkungan Ahmadiyah.

Karena Ahmadiyah dikucilkan umat Islam dan tidak diakui sebagai
bagian dari Islam, maka Ahmadiyah cenderung atau dirongrong menjadi
komunitas tertutup. Namun, komunitas Ahmadiyah juga dikenal sebagai
komunitas yang damai, karena doktrinnya mengajarkan perdamaian.
Dakwah Ahmadiyah tidak pernah menyinggung, apalagi menyerang mazhab-
mazhab Islam lain. Ahmadiyah juga tidak melakukan serangan balik atas
para pengritiknya. Dakwah Ahmadiyah didukung program-program
kemanusiaan, yang terkenal adalah program “Humanity Firs” yang
menolong masyarakat tanpa pandang kepercayaan.

Ahmadiyah juga organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928
(aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI,
Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri
Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui
sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan
Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Pengakuan legal itu
didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa “Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Atas dasar itu, Depag RI maupun MUI mestinya melindungi Ahmadiyah
dari serangan pihak luar. Tapi pada 11 Agustus 2002, MUI yang
seharusnya melindungi dan mengayomi semua golongan umat Islam, justru
menyelenggarakan seminar sehari yang menampilkan pembicara-pembicara
yang secara sepihak menghasut agar Ahmadiyah dibubarkan. Inilah yang
memicu tindak kekerasan umat Islam, antara lain berupa pembakaran
rumah-rumah, masjid dan sekolah oleh massa di Manislor, Kuningan Jawa
Barat, dan Pancor, Lombok Timur, dan terakhir pengrusakan dan teror
atas pertemuan tahunan Ahmadiyah di kampus Mubarok, Parung. FPI dan
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) berada di balik teror
yang melanggar HAM itu.

Sumber terorisme itu sebenarnya berasal dari Keputusan Munas MUI No.
05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah
sebagai “jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. SK MUI inilah
yang “menghalalkan darah” jama’ah Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah
menganut rukun iman dan rukun Islam sebagaimana umat Islam lain.

Tapi seandainya akidah Ahmadiyah dianggap berbeda, orang Ahmadiyah
pun masih berhak “menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya
itu”. Selama ini, Ahmadiyah tetap konsisten menjalankan program
kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Mestinya, unsur Ahmadiyah
justru perlu dimaksukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu
dikucilkan. Dalam kerangka Negara Hukum RI, mereka tetap berhak
memperoleh hak-hak asasi mereka, khususnya dalam menjalankan agama
menurut kepercayaan mereka sendiri.

Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim, mantan Rektor Unisma Bekasi.

5 comments

  1. Untuk mengetahui apakah dan siapakah Ahmadiyah itu dan menyelesaikan perselisihan antara Majelis Ulama Indonesia dan Ahmadiyah, kami telah menerbitkan buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:

    “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    berikut 4 macam lampiran panduan:
    “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
    hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun oleh:
    “SOEGANA GANDAKOESOEMA”
    dengan penerbit:
    “GOD-A CENTRE”
    dan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
    “DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” DitJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokok Islam Pakistan.

    Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.


  2. Posting yang bagus sekali.

    Memang organisasi-organisasi muslim yang bringas didukung oleh oknum-oknum kepolisian & aparat keamanan pemerintah.

    Sudah sering terjadi pengerusakan rumah-rumah ibadah umat lain, sweeping, fatwa-fatwa dan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh organisasi muslim terhadap umat agama lain. Sedangkan sebagian dari para preman ini adalah anggota polisi dan aparat keamanan lainnya yang berpakaian sipil. Pemerintah juga bersikap seolah-oleh memberi semangat kepada preman-preman ini sehingga mereka merasa berada di atas hukum apapun yang berlaku di negara Indonesia.

    Juga anggota polisi pada umumnya hanya menonton para preman yang melakukan pengerusakan & sweeping. Anggota polisi malah melindungi oknum-oknum yang berkelakuan bringas itu.

    Sedangkan polisi dan aparat keamanan pemerintah seharusnya melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan agama, kepercayaan, suku, dsb.

    Kita yakin bahwa ada umat muslim yang tidak mentolerir dan tidak setuju dengan kelakuan polisi dan aparat keamanan yang secara terang-terangan memihak kepada golongan mayoritas.

    Tetapi, pemerintah tidak menyadari bahwa walaupun polisi dan aparat keamanan mempunyai senjada api, tapi rakyat jelata (masyarakat muslim yang kurang simpati terhadap polisi) mumpunyai senjata yang jauh lebih ampuh dari pada senjadi api. Sejata yang ampuh ini adalah agama.

    Masyarakat muslim yang tidak simpati terhadap tindakan polisi yang memihak ini bisa mengeluarkan reaksi yaitu mereka bisa meninggalkan agama Islam. Mereka bisa mengalih ke agama lain. Kalau hal ini terjadi/sedang terjadi, maka senjata api polisi itu tidak ada artinya.


  3. Buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:

    “BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
    Penulis: Soegana Gandakoesoema

    Tersedia ditoko buku K A L A M
    Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarat 13120
    Telp. 62-21-8573388


  4. Mendengar utan kayu jadi ingat orang-orang yang berpaham liberal 😉


  5. Penafsiran-penafsiran Soegana Gandakoesoema banyak yang melenceng :mrgreen:



Leave a comment